Seorang kawan pernah bercerita tentang beberapa temannya yang sering mengejek dan meremehkan kegemaran dia membaca buku. Ia kesal. Walaupun saya orang yang termasuk jarang membaca buku, saya juga ikut kesal.
Bukan untuk sikap remeh temannya terhadap buku, tetapi untuk membaca. Menurut saya, membaca adalah proses penting dalam belajar, dan waktu untuk belajar tidak akan berhenti sampai jiwa terpisah dengan jasad (bahasanya mulai ngeri..).
Kawan ini juga berkata bahwa dengan membaca buku maka akan ada ilmu-ilmu yang bisa diserap oleh otak, hati dan jiwa. Saya setuju. Saya juga setuju jika sikap yang ditampilkan oleh temannya untuk menghentikan hubungan dengan buku itu adalah sikap alam bawah sadar mereka yang ingin berhenti belajar.
Dari hasil semedi saya di Gunung Kelud, sikap ‘putus sama buku’ adalah ciri-ciri trauma masa lalu. Begini, misalnya ketika di masa sekolah ada beberapa siswa yang tidak mau belajar apalagi membaca buku. Ujung-ujungnya, setelah lulus, siswa tersebut merasa bebas. Bebas dari tumpukan-tumpukan buku. Ya, karena dipikiran mereka buku adalah lambang penjara.
Mereka ingin bebas dari rutinitas sekolah, tetapi selalu ada hantu bernama buku yang menampakkan wujudnya. Ya jadi begitulah jadinya.
Di satu sisi saya melihat keadaan ini terjadi karena pemikiran sejumlah generasi muda Indonesia yang telah larut dalam paradigma. Beberapa dari kita menilai bahwa belajar merupakan aktifitas di sekolah atau kampus. Setelah lulus, mulailah untuk mencari kerja, cari bini, menikah, lalu hidup berumah tangga.
Belajar? Tidak lagi. Belajar itu di sekolah. Gunanya untuk mendapatkan ijazah sebagai modal utama mencari pekerjaan. Begitulah. Makanya ada beberapa dari kita yang sudah enggan belajar. Belajar cukup di sekolah dan kampus, begitu mungkin bagi sebagian orang. Padahal belajar dan mencari ilmu adalah langkah yang tidak akan berhenti hingga nafas manusia terhenti (Ngeriii bahasanya..).
Sengaja saya menuliskan opini ini, tetapi intinya bukan karena momok sebuah buku. Namun, lebih kepada membaca. Surat Al ‘Alaq yang pertama kali diturunkan pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, perintahnya adalah membaca, agar manusia mampu menggali arti kehidupan yang telah dianugerahkan-Nya.
Membaca pun tidak harus dilakukan dengan membuka sebuah buku. Ada banyak hal yang bisa dilakukan yang pada intinya bermaksud untuk membaca. Alam semesta, perilaku mahkluk hidup serta kejadian yang terjadi di bumi adalah hal yang patut untuk dibaca.
Contoh sederhanya, bergaul dengan sesama manusia. Setiap manusia ada sisi kelebihan dan kekurangan, dan inilah yang bisa kita baca dari sesama. Dari apa yang dilakukan atau tentang karakter dari seorang manusia, juga bisa dibaca. Tidak harus tertuju pada seseorang yang cerdik pandai, walau orang bodoh sekalipun kita tetap bisa mengambil pelajaran berharga.
Begitulah hakekat hubungan antar sesama manusia di bumi ini. Kita terlahir dengan sisi-sisi jiwa yang berbeda, dan dengan ada perbedaan maka akan tercipta sikap untuk saling memberi dan menerima. Layaknya seperti kepingan puzzle, ketika satu persatu kepingan digabungkan, maka akan tercipta sebuah gambar yang indah.
Jika saya hubungkan hakekat kehidupan dengan perilaku enggan membaca, maka dengan persepsi yang saya jabarkan di atas jelas akan menciptakan ketimpangan antar sesama manusia. Sederhananya, ketika sejumlah manusia menolak untuk saling ‘membaca’, maka kepingan puzzle tidak pernah terbentuk sempurna.
Begitupun juga ‘membaca’ alam semesta yang menyimpan begitu banyak ilmu pengetahuan yang hakiki. Tak terbayangkan jika manusia di zaman dahulu kala tidak ‘membaca’ alam semesta. Dipastikan tidak akan ada penciptaan kalender yang berisi ketetapan tentang waktu.
Tidak salah memang, karena membaca akan membuka tabir-tabir ilmu pengetahuan yang begitu banyak tersimpan di alam semesta dan di perjalanan kehidupan.
Kemudian, ada apa dengan peradaban modern ini yang membuat sebagian manusianya anti membaca? Apakah setelah mendapatkan pekerjaan tetap lalu kita menghentikan langkah untuk membaca dan belajar, karena ilmu hanya menjadi modal untuk mendapatkan pekerjaan?
Jika berangkat dari apa yang saya amati, memang demikian adanya untuk sebagian manusia. Seiring hari berganti, ‘membaca’ telah berubah menjadi ‘menghitung’. Hitung menghitung menjadi gaya hidup. Membaca pun ditinggalkan.
Kita sibuk hitung menghitung untung rugi dari setiap langkah yang disusuri. Hingga menolong orangpun kita tetap memakai konsep hitung menghitung. Bekerja segini, gajinya segini. Membantu segitu, balasannya segitu. Akhirnya kita larut dalam perjalanan hidup dengan konsep kalkulasi.
Lalu ada yang berteriak lantang, “Saya masih belajar kok! Apa yang saya kerjakan ini adalah belajar. Belajar untuk meningkatkan kemampuan dalam bekerja biar mendapatkan keuntungan yang banyak.”
Saya menanggapi, “Apakah itu belajar dengan cara ‘membaca’ atau belajar dengan cara ‘berhitung’?”
Oh ya, terakhir, apakah anda yang berada di pihak yang suka membaca buku telah mencoba untuk mengaplikasikan ilmunya bagi kehidupan? Atau, sampai saat sekarang anda masih menyibukkan diri untuk menghitung buku apa yang telah anda baca? (Eh?)
***