Bukittinggi, Matakata.co – Kebudayaan dan sejarah merupakan aset kekayaan yang bisa memacu kemajuan daerah. Maka dari itu, Ketua DPRD Sumbar, Supardi mendorong agar Payakumbuh mampu menghadirkan terobosan agar tetap menjadi kota tujuan wisatawan.
Hal tersebut disampaikan Ketua DPRD Sumbar, Supardi saat membuka acara Bimtek Peningkatan Kapasitas Pemangku Kebudayaan Kota Payakumbuh, Jumat (26/7) di hotel kawasan Bukittinggi.
Supardi mengatakan Payakumbuh yang memiliki aset budaya dan sejarah harus segera mengubah nasib.
“Jika tidak maka kota ini akan terpuruk,” kata Supardi.
Ia mengatakan, untuk mengubah nasib maka harus ada pemacunya. Sementara Payakumbuh tidak memiliki banyak sumber daya alam dan tempat wisata yang bisa dijual untuk memajukan daerah.
“Kota ini hanya kota transit. Maka dari itu kita harus mengubah nasib kota ini dengan kebudayaan dan sejarah. Inilah aset kekayaan kita,” ujar Supardi.
Ia mengatakan selama ini penopang perekonomian Payakumbuh adalah UMKM dan kuliner. Kedua sektor ini pun terancam tergerus, apalagi jika tol Padang- Pekanbaru selesai. Kuliner dan UMKM bisa ikut mati, jika tak ada terobosan untuk mengubah daerah ini menjadi kota tujuan.
Ia mengatakan, jika kebudayaan dan sejarah bisa diapungkan maka nasib Payakumbuh akan berubah. Payakumbuh akan menjadi daerah besar.
“Itulah mengapa saya getol membuat festival Maek. Payakumbuh akan ikut terkena dampak positifnya jika kawasan Maek menjadi wilayah wisata khusus tempat berkumpulnya para peneliti dan arkeolog dunia,” katanya.
Maek merupakan aset sejarah luar biasa yang dimiliki Sumbar. Bahkan peradabannya diprediksi ada sejak 4 ribu tahun sebelum masehi.
“Maek harus mendunia,” katanya.
Supardi menilai kebudayaan dan sejarah bukan tidak mungkin membuat suatu daerah maju. Bahkan Bali dan Yogyakarta telah membuktikannya.
“Bali itu bukan hanya menjual pantai dan laut, mereka menjual budaya, ada tari Kecak, ada ritual ngaben. Itulah mengapa wisatawan berduyun-duyun datang ke sana sejak lama,” katanya.
Yogyakarta juga serupa. Walaupun memiliki Borobudur dan banyak candi mereka juga mengadakan banyak festival yang menjadi magnet datangnya turis mancanegara.
Supardi mengatakan mengekplorasi kebudayaan dan sejarah bukanlah hal yang buruk. Justru itu termasuk sebagai upaya melestarikannya. Bahkan tanpa kebudayaan maka daerah dan masyarakat akan kehilangan identitas.
Ia mengatakan jika daerah lain tak malu mengekspos budaya mereka, maka Sumbar termasuk Payakumbuh juga tak boleh malu.
“Jika Bali mengekspos Tari Kecak, kita juga punya banyak tarian hebat, tari payung, tadi pasambahan dan banyak lain. Sayangnya semua kekayaan budaya dan sejarah itu tak pernah serius diekspos selama ini,” tegasnya.
Supardi mengatakan mengubah nasib daerah akan mengubah pula nasib masyarakatnya. Saat ini Payakumbuh mengalami banyak permasalahan. Mulai dari banyaknya kemiskinan ekstrim, tingginya angka pengangguran, LGBT, penyalahgunaan narkoba dan lem hingga permasalahan anak kekurangan gizi atau stunting.
“Stunting ini yang sangat miris. Tidak ada dalam kamus orang Minang selama ini kelaparan. Rumah gadang dilengkapi lumbung, ini adalah konsep ketahanan pangan. Namun yang terjadi saat ini banyak rumah gadang yang diruntuhkan,” ujarnya.
Ia mengatakan tidak seharusnya lagi para pemangku kebudayaan, Ninik mamak, Datuak Bundo kandung bahkan masyarakat untuk santai-santai saja melihat situasi di Payakumbuh saat ini. Angka kemiskinan ektrem dan pengangguran tinggi, ini bisa memacu kriminalitas.
Bahkan penyalahgunaan narkoba dan LGBT semakin marak yang tentu saja merusak generasi penerus. (y)