Bapak satu-satunya dukun yang masih tersisa di kampung ini. Aku rasa bapak juga satu-satunya dukun di provinsi ini. Soalnya banyak orang-orang dari luar daerah yang datang ke bapak untuk berobat. Di bilang banyak, sebenarnya juga tidak terlalu banyak. Biasanya hanya orang-orang tua saja yang datang ke tempat bapak, yang kadang membawa anaknya yang dikira kerasukan Jin Ifrit.
Sebelum aku lahir, dan sekarang umurku sudah tiga puluh tahun, bapak sudah jadi dukun. Banyak dukun-dukun lain yang beralih profesi menjadi pedagang duku, ojek online atau membuka praktek pengobatan alternatif, tapi bapak tetap setia dengan praktek dukunnya.
“Dalam menjalani hidup kita harus konsisten, Nak,” begitu kata bapak padaku saat aku menanyakan padanya kenapa masih betah menjadi dukun. Padahal pasiennya semakin lama semakin berkurang. Kadang dalam seminggu hanya ada satu orang yang datang pada bapak untuk berobat. Tapi bapak tidak pernah mundur atau banting stir jadi apa saja yang bisa menghasilkan cukup uang untuk kebutuhan sehari-hari.
Orang-orang yang datang ke bapak selalu membawa penyakit yang aneh-aneh, kadang di luar logika. Ada yang setiap malam menggonggong macam anjing kelaparan, ada yang gatal tak ketolongan, ada yang merasa diguna-guna, ada pula yang minta jimat. Tapi bapak bukan tipe dukun yang sering dicap memiliki ilmu putih, ilmu hitam atau ilmu pink.
“Ilmu pengobatan, Nak. Ilmu yang kutekuni. Mempelajari alam untuk menemukan obat,” kata bapak.
Penampilan bapak memang sedikit menyeramkan. Pakaiannya hitam-hitam, memakai ikat kepala yang juga hitam, rambutnya ikal sebahu, dan dengan kalung macam tasbih yang bijinya seukuran kelereng yang melingkar di lehernya. Begitu juga ruang praktek bapak, cahayanya temaram, ada lilin yang menyala di setiap sudut ruangan, dan dengan bau melati yang semerbak. Aku jarang bisa bertahan lama di ruangan itu.
Sudah lima tahun ini, praktek dukun bapak sepi pengunjung. Tidak banyak orang yang datang untuk berobat. Sebagian orang juga enggan datang ke rumah kami, karena mereka menilai auranya sangat mencekam. Di tambah lagi ada pohon beringin besar di halaman rumah, semakin membuat orang berpikir sepuluh kali untuk singgah.
Empat tahun lalu, saat pasien bapak sudah turun drastis, ibu pergi meninggalkan bapak. Setiap hari ibu meminta bapak untuk berganti pekerjaan, tapi bapak menolak dan selalu menolak. Ibu tidak tahan, apalagi dengan kebutuhan yang tidak tercukupi setiap harinya. Akhirnya, ibu pergi membawa serta adik perempuanku satu-satunya. Sejak saat itu tidak ada lagi kabar dari ibu. Setahun pertama bapak cukup stres dengan kejadian yang menerpa rumah tangganya, tapi setelah itu bapak merelakan.
“Semoga ibumu mendapat suami kaya,” kata bapak padaku kala itu.
Beberapa kali bapak ingin menurunkan ilmunya padaku. Dia juga mendesak agar aku mau menjadi penerusnya. Tapi sampai saat ini, aku tetap menolak. Segala cara dilakukan bapak dan dengan rayuan mautnya agar aku mau jadi dukun, tapi melihat yang terjadi, aku pesimis bisa hidup dari profesi itu, dan aku memilih untuk menjadi pedagang bawang saja.
Bukan saja karena orang-orang yang sudah tidak lagi percaya untuk berobat ke dukun, tapi juga karena pandangan buruk mereka dan juga seiring perkembangan zaman, membuatku sedikitpun tidak tertarik untuk menjadi penerus bapak. Biarlah aku main aman saja. Menjadi pedagang bawang pun sudah mampu memenuhi kebutuhanku sehari-hari.
Saat umurku sudah kepala tiga, aku belum juga menemukan tambatan hati. Orang-orang sekampung, terutama gadis-gadisnya tidak mau berteman denganku. Jangankan untuk menjalin sebuah hubungan kasih, saat berpas-pasan pun mereka membuang muka, dan berusaha untuk tidak beradu pandang denganku. Takut kena guna-guna, begitu alasannya. Kadang terpikir juga, harusnya aku ikut bersama ibu dan adik perempuanku. Tapi hatiku menolak, biarlah keadaan ini adil, ibu pergi bersama adikku, dan aku tetap di sini bersama bapak.
Rumah panggung yang aku tinggali bersama bapak sudah mulai lapuk dimakan usia. Dindingnya sudah kusam. Beberapa bagian juga habis dimakan rayap. Atap berbahan rumbia sudah kering. Kalau hujan, titik air-air jatuh dari sela-selanya. Tapi kami tidak bisa berbuat banyak. Jangankan untuk memperbaiki rumah, untuk kebutuhan makan pun kami masih terengah-engah.
“Pak, kita tidak bisa hidup begini terus. Kita harus mencari cara untuk mengubah nasib,” kataku usai makan malam dengan lauk apa adanya, sayur daun singkong dan beberapa potong tempe.
Bapak tidak mengubris. Dia mengambil kantong berisi tembakau, lalu menggulungnya dengan daun nipah.
“Sekarang orang sudah tidak percaya dukun, Pak. Penyakit orang-orang sekarang sudah bukan lagi penyakit jaman dulu. Sekarang orang-orang sakitnya kanker, asam lambung naik, demam dan jantung. Obat-obatan pun sudah bisa didapat di apotek,” kataku terus mendesak bapak untuk mengubah jalan pikirannya.
“Penyakit itu datangnya dari sini,” kata bapak sambil menunjuk dada kirinya, “dan dari sini,” sambung bapak sambil menunjuk kepalanya. “Kamu tidak mengerti. Aku ingin kamu mengerti, tapi kamu tidak mau diajari.”
“Tapi Pak, lihat sekarang, tidak ada yang mau berobat ke dukun lagi.”
“Memangnya kenapa? Kamu takut mati kelaparan? Sekali kamu memilih profesi dalam hidup ini, sampai mati kamu harus tekun menjalani. Karena dari itu kamu bisa mendapatkan inti dan makna dari perjalanan ini.”
“Tapi Pak..”
“Tapi apa? Kalau kamu tidak suka, silakan pergi!” suara bapak mulai meninggi.
Aku hanya bisa menghembuskan napas berat. Tidak kujawab lagi perkataan bapak.
*****
Dua minggu berselang, seorang ibu datang bersama anaknya ke rumah kami. Ibu itu nampak pucat, bukan karena dia yang sakit, tapi kerisauan terhadap penyakit anaknya membuat dia ikut gelisah dan resah.
Anaknya umur dua puluh tahun. Baru pulang dari kota. Sudah dua minggu ini anaknya menderita demam tinggi, batuk, tidak bisa tidur malam, tenggorokan perih dan mual. Ibu itu sudah mencoba membawa anaknya ke puskesmas yang ada di kampung ini, tapi obat yang diberikan tidak sedikitpun memberikan faedah. Demamnya makin tinggi, batuknya semakin menjadi-jadi. Kadang anaknya juga susah bernapas.
“Coba Mbah periksa anak saya ini. Apa dia diguna-guna sama orang kota atau diganggu jin. Tolong, Mbah,” kata ibu itu mengiba pada bapak. Anaknya nampak kurang senang berkunjung ke rumah kami. Dia mencoba meredam emosinya dengan terus bermain gawai.
Bapak membakar kemenyan pada guci kecil di depannya. Kemudian bapak memejamkan mata, mulutnya komat-kamit membaca mantra.
“Ada sesuatu yang masuk ke dalam tubuh anak ibu.”
“Apa itu, Mbah?!” serobot si ibu sangat ingin tahu. “Jin atau apa?”
“Bukan. Bukan,” bapak mengaruk-garuk kepalanya, berusaha mencari-cari kata yang cocok tentang kondisi anaknya. Bapak pun sadar, kondisi si anak baru pertama kali ia temukan dalam perjalanan karirnya di dunia ilmu perdukunan. “Saya coba kasih ramuan ya. Semoga bisa menyembuhkan anak ibu.”
Si ibu mengangguk. Dia sangat berharap ramuan yang diberikan bapak bisa segera menyembuhkan anaknya. Si anak nampak pesimis dan terlihat meremehkan kemampuan bapak. Setelah itu mereka pergi, dari kejauhan terlihat anak dan ibu itu sedang beradu argumen.
“Kenapa anak itu, Pak?” tanyaku setelah ibu dan anak itu hilang dari pandangan.
“Sepertinya ada yang aneh dengan tubuhnya. Baru kali ini bapak menemukan penyakit seperti itu,” kata bapak yang tampak kecewa dengan kemampuannya.
Setelah kejadian itu bapak sering bermenung. Kedatangan ibu dan anak itu membuat bapak merasa kurang keahlian dalam pengobatan. Ilmu yang dimilikinya terasa sangat rendah. Bapak yang biasanya merasa mampu mengobati segala macam penyakit dan percaya diri dengan ilmu yang dimiliki, sekarang menjadi rendah diri.
“Bapak salah. Seharusnya bukan saja menekuni, tapi juga harus tetap mempelajari, menggali. Pantas saja orang-orang pada lari dan tidak mau lagi berobat ke sini. Ternyata ilmu bapak tak mumpuni,” kata bapak dengan nada sendu padaku.
Aku sedih mendengar ucapan bapak padaku malam itu. Malam yang membuat bapak sangat gelisah. Lepas tengah malam, bapak tak juga bisa tidur. Tubuhnya panas, batuk-batuk dan sesak napas. Aku ikut gelisah.
“Pak, Bapak kenapa?”
Aku cemas dengan kondisi bapak. Seumur-umur baru kali ini aku lihat bapak terbaring lemah.
“Aku ambilkan obat ya? Atau ramuan apa? Biar kuambilkan Pak,” aku semakin cemas melihat kondisi bapak. Bapak menyuruhku mengambil ramuannya di lemari kayu di ruang prakteknya. Sesudah meminum itu, tak ada tanda-tanda baikan dari bapak. Demamnya semakin tinggi, batuknya semakin menjadi-jadi.
*****
Pagi-pagi sekali aku ajak bapak untuk berobat ke puskesmas. Bapak menolak. Harga dirinya merasa tergadai kalau harus berobat ke rumah sakit. Aku terus membujuk agar bapak mau berobat ke sana. Dengan kondisi demam yang semakin tinggi, dan batuk yang kian menjadi-jadi, ego bapak akhirnya menyerah. Kami pun pergi ke puskesmas.
“Dik, bapakmu positif terkena Virus Comperantolitus 28. Apa kamu tidak tahu? Informasinya sudah menjamur di internet. Kami pun baru tahu soal ini beberapa hari lalu,” begitu kata bidan padaku. Bidan mengatakan, virus ini sedang mewabah di dunia. Aku mengangguk-angguk, sebenar-benar tak tahu aku tentang informasi itu. Jangankan internet, televisi pun kami tak punya.
“Benarkah itu, Bu? Sudah pasti bapak saya terkena virus itu?” tanyaku. Bidan mengangguk. Katanya, ciri-ciri keluhan bapak sesuai sekali dengan gejala virus itu.
“Lalu bagaimana, Bu?”
“Isolasi. Bapakmu harus diisolasi.”
*****
Penulis : A. Daraus